Kamis, 08 Maret 2012

gara gara hp

Gara-Gara HP

           Tanda kelulusan sudah berada di tanganku. Akan ku gunakan itu sebagai syarat melamar pekerjaan. Kebetulan bulan depan ada lowongan di sebuah toserba bertaraf nasional. Satu minggu kemudian akhirnya semua persyaratan selesai. Setelah ku ajukan surat lamaranku barulah aku mendapat panggilan untuk interview beberapa hari setelahnya. Aku tak sendiri. Seorang teman yang tinggal tak jauh dari tempatku tinggal juga mendaftarkan diri. Namanya Yopi. Dia pun sudah ku anggap kakak. Karena usianya pun diatasku. Sesaat sebelum interview rasa deg-degan melandaku. Benar-benar pengalaman pertama untukku masuk dunia kerja dan itu pun belum lama setelah ku dapatkan tanda kelulusan dari Sekolah Menengah Atas.
            Interview selesai. Waktunya kami para pelamar pekerjaan mengikuti tes psikologi. Sungguh tes yang sangat menegangkan untukku. Banyak peserta dari berbagai cabang disana. Satu hari itu akan menentukan nasib kami selanjutnya. Yaah..OPTIMIS saja lah?? ^_^
            Setelah satu minggu akhirnya ada panggilan. Kami berdua sama-sama dipanggil. Ya..setidaknya ada satu orang yang bisa ku ajak berunding kalau-kalau ada sesuatu terjadi. Aku dipercaya untuk menjadi tenaga Kasir, dan Yopi dipercaya untuk memegang konter mi instan. Ada waktu satu bulan bagi kasir baru untuk belajar dengan kasir yang sudah lebih berpengalaman sebelum akhirnya dilepas sendiri untuk memegang kassa.
            Awalnya memang canggung berinteraksi dengan sesama karyawan disana. Apalagi aku termasuk ‘adik’ buat mereka. Dan tak seperti yang ku bayangkan. Suasana disana tak terlalu menegangkan. Bekerja dengan slogan SERSAN* yang tak berlebih. Yang terpenting adalah hasil dan kinerja yang nyata dan menjanjikan.
            “Kita disini adalah pelayan masyarakat, jadi kita harus bisa memberi pelayanan yang maksimal dan tidak mengecewakan. Jangan lupa 2U3S**…oke??!!”, begitu kata salah seorang kasir saat kami masih di ruang keuangan.
            “Hai…? Ehm..mbak kasir euy??”, goda seorang yang tak asing untukku pagi itu saat aku berjalan di lorong untuk absen.
            “Eh..hai mas?? Hhehee…iya nih Alhamdulillah dipercaya sama keuangan”, jawabku. “Yyaa…yang penting bisa teliti, pasti nggak jadi pusing”, lanjutnya. “Beres deh..akan diusahakan sebaik mungkin..”, aku menunjukkan kedua ibu dari jari-jariku. “Shiiiip deh…?!”, ia memberi kode untuk pergi mengerjakan tugasnya di setiap pagi sebelum doa pagi dilaksanakan. Aku meresponnya dengan senyum dan anggukan.
            Namanya Ghani. Dia menjadi tenaga teknisi disini. Dia anak dari guru yang mengajarku saat di Sekolah Menengah Pertama.
            Hari-hari telah berlalu. Hampir satu bulan aku bekerja. Oh, ya..aku belum menyebutkan satu nama yang penting juga untukku. Dan menurutku dia terlalu penting untuk dilupakan. Namanya Faris. Dia kakak kandung Yopi. Dibanding dengan Yopi, sebenarnya aku lebih akrab dengan Faris. Tepatnya sejak aku pindah ke kota ini 7 tahun yang lalu. Bahkan saking akrabnya kami sampai membuat banyak orang menyangka kalau kami terlibat CINLOK. Untuk hal itu memang wajar terjadi. Dan memang ternyata Faris menyimpan rasa padaku sejak beberapa tahun yang lalu. Entah kapan tepatnya dia pun tak menyadarinya. Dan baru tahun lalu ia mengungkapkannya. Sungguh mengejutkan untukku mengetahui perasaannya padaku. Seakan seperti di sinetron saja. Berat juga untukku memberinya kepastian tentang perasaanku padanya. Pasalnya sejak awal aku hanya menginginkannya sebagai kakakku.
            Sebuah perbedaan pun menjadi bahan pertimbanganku. Kami sama-sama beragama Islam. Namun, kami berbeda prinsip dan keyakinan. Bagiku hal itu bukan hal yang sepele. Walaupun Faris pun sudah memikirkannya. Terkadang aku memancingnya atas keseriusan perasaannya padaku. Padahal aku tahu dia belum bisa berpikir ‘kesana’ dalam usianya yang baru masuk kepala dua. Dan tak ku sangka rupanya dia sudah berniat untuk memperjuangkan kami untuk masa depan. Dia bersedia menerima persyaratan apa pun dari orang tuaku. Sungguh terharu aku dibuatnya. Setelah ku dengar pernyataannya tentang keseriusannya itu aku memutuskan untuk bertahan sampai dia mewujudkan semuanya.
            Kami belum melibatkan orang tua saat itu. Karena kami pun masih dalam proses menetapkan hati. Seiring berjalan waktu banyak hal yang kami hadapi. Perdebatan kecil dan besar pun sudah pernah kami alami. Lebih karena sebuah salah paham. Dia yang belum terlalu dewasa harus bisa ku hadapi dengan kepala dingin. Seringkali maksud yang ingin ku tunjukkan ditangkap berbeda olehnya. Hingga akhirnya menjadi kesalahpahaman yang berbuntut.
            “Udahlah…itu emang udah sifat kamu…kamu mau cewek yang kayak dia kan? Kalian itu sama-sama nggak mikir!! Tega kamu giniin aku. Salah apa aku sama kalian??!! Sampe aku harus jadi bahan permainan kalian?! Tapi, tenang aja aku nggak akan membalas semua ini. Biar karma yang menghukum kalian!!”
            Itu adalah emosi terbesarku malam itu atas ulah Faris. Aku benar-benar tak ingin melihatnya juga mendengar suaranya. Tapi, aku tetap melapangkan dada untuk bisa mendengar penjelasannya melalui ponsel. Samar-samar aku mendengar dia terisak atas semua emosi yang ku luapkan. Heran rasanya dia menunjukkan penyesalan seperti itu setelah apa yang dia lakukan seakan tak menggunakan pikiran. Sakit tersakitku untuk kejadian itu.
            Aku merasa curiga dengan tingkah Faris. Aku memintanya untuk bertukar ponsel sementara. Sama sekali dia tak keberatan. Menunjukkan bahwa tak ada apa-apa di ponselnya. Tapi, tetap saja aku merasa ada yang tak beres.
            Malam itu aku mulai membuka semua yang ada di ponselnya. Lebih pada pesan dan panggilan. Bukan hal yang patut dipermasalahkan sebenarnya. Hanya saja kebohongan sekecil apapun tetap menyakitkan. Ada nomor tak bernama di daftar panggilan. Fellingku mengatakan bahwa nomor itu adalah nomor seorang cewek yang dulu pernah dia sukai yang sebenarnya masih family dengannya. Aku mengirim pesan pada nomor itu dengan berpura-pura sebagai Faris. Beberapa SMSku membuat pemilik nomor itu curiga bahwa bukan Faris yang mengiriminya pesan. Akhirnya aku mengaku dengan emosi yang mulai muncul. Benar dugaanku. Entah apa maksud mereka dengan menutup-nutupi keakraban mereka.  Faris selalu bilang bahwa mereka tak pernah komunikasi melalui ponsel. Tapi, nyatanya???!!
            “Aku minta kamu lupain aku. Jangan lagi hadir di kehidupanku…!!!”, masih dengan emosiku saat itu. “Maafin aku, Na…aku bener-bener nyesel. Tolong jangan suruh aku jauhin kamu. Aku nggak bisa, Na…”, suaranya masih terdengar terisak. Tak ku hiraukan kata-katanya. Sudah berulangkali kesempatan ku berikan. Dan berulangkali pula ia salah gunakan. Tak banyak yang ku tuntut darinya. Hanya kejujuran. Itu saja. Itu pun demi mencegah adanya salah paham yang berpotensi besar menghancurkan sebuah hubungan. Dan juga salah satu usaha ku untuk menjaga hubungan kami.
            Namun, tetap saja semua itu terjadi. Perdebatan hebat yang membuatku benar-benar ingin pergi dan melupakan semua tentangnya. Sakit tersakitku untuk kejadian itu. 

By: Eka Oktaviyanti H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar