Gara-Gara HP
February 18th, 2012
Tanda
kelulusan sudah berada di tanganku. Akan ku gunakan itu sebagai syarat
melamar pekerjaan. Kebetulan bulan depan ada lowongan di sebuah toserba
bertaraf nasional. Satu minggu kemudian akhirnya semua persyaratan
selesai. Setelah ku ajukan surat lamaranku barulah aku mendapat
panggilan untuk interview beberapa hari setelahnya. Aku tak sendiri.
Seorang teman yang tinggal tak jauh dari tempatku tinggal juga
mendaftarkan diri. Namanya Yopi. Dia pun sudah ku anggap kakak. Karena
usianya pun diatasku. Sesaat sebelum interview rasa deg-degan melandaku.
Benar-benar pengalaman pertama untukku masuk dunia kerja dan itu pun
belum lama setelah ku dapatkan tanda kelulusan dari Sekolah Menengah
Atas.
Interview selesai. Waktunya kami para pelamar pekerjaan mengikuti tes
psikologi. Sungguh tes yang sangat menegangkan untukku. Banyak peserta
dari berbagai cabang disana. Satu hari itu akan menentukan nasib kami
selanjutnya. Yaah..OPTIMIS saja lah?? ^_^
Setelah satu minggu akhirnya ada panggilan. Kami berdua sama-sama
dipanggil. Ya..setidaknya ada satu orang yang bisa ku ajak berunding
kalau-kalau ada sesuatu terjadi. Aku dipercaya untuk menjadi tenaga
Kasir, dan Yopi dipercaya untuk memegang konter mi instan. Ada waktu
satu bulan bagi kasir baru untuk belajar dengan kasir yang sudah lebih
berpengalaman sebelum akhirnya dilepas sendiri untuk memegang kassa.
Awalnya memang canggung berinteraksi dengan sesama karyawan disana.
Apalagi aku termasuk ‘adik’ buat mereka. Dan tak seperti yang ku
bayangkan. Suasana disana tak terlalu menegangkan. Bekerja dengan slogan
SERSAN* yang tak berlebih. Yang terpenting adalah hasil dan kinerja
yang nyata dan menjanjikan.
“Kita disini adalah pelayan masyarakat, jadi kita harus bisa memberi
pelayanan yang maksimal dan tidak mengecewakan. Jangan lupa
2U3S**…oke??!!”, begitu kata salah seorang kasir saat kami masih di
ruang keuangan.
“Hai…? Ehm..mbak kasir euy??”, goda seorang yang tak asing untukku pagi itu saat aku berjalan di lorong untuk absen.
“Eh..hai mas?? Hhehee…iya nih Alhamdulillah dipercaya sama keuangan”,
jawabku. “Yyaa…yang penting bisa teliti, pasti nggak jadi pusing”,
lanjutnya. “Beres deh..akan diusahakan sebaik mungkin..”, aku
menunjukkan kedua ibu dari jari-jariku. “Shiiiip deh…?!”, ia memberi
kode untuk pergi mengerjakan tugasnya di setiap pagi sebelum doa pagi
dilaksanakan. Aku meresponnya dengan senyum dan anggukan.
Namanya Ghani. Dia menjadi tenaga teknisi disini. Dia anak dari guru
yang mengajarku saat di Sekolah Menengah Pertama.
Hari-hari telah berlalu. Hampir satu bulan aku bekerja. Oh, ya..aku
belum menyebutkan satu nama yang penting juga untukku. Dan menurutku dia
terlalu penting untuk dilupakan. Namanya Faris. Dia kakak kandung Yopi.
Dibanding dengan Yopi, sebenarnya aku lebih akrab dengan Faris.
Tepatnya sejak aku pindah ke kota ini 7 tahun yang lalu. Bahkan saking
akrabnya kami sampai membuat banyak orang menyangka kalau kami terlibat
CINLOK. Untuk hal itu memang wajar terjadi. Dan memang ternyata Faris
menyimpan rasa padaku sejak beberapa tahun yang lalu. Entah kapan
tepatnya dia pun tak menyadarinya. Dan baru tahun lalu ia
mengungkapkannya. Sungguh mengejutkan untukku mengetahui perasaannya
padaku. Seakan seperti di sinetron saja. Berat juga untukku memberinya
kepastian tentang perasaanku padanya. Pasalnya sejak awal aku hanya
menginginkannya sebagai kakakku.
Sebuah perbedaan pun menjadi bahan pertimbanganku. Kami sama-sama
beragama Islam. Namun, kami berbeda prinsip dan keyakinan. Bagiku hal
itu bukan hal yang sepele. Walaupun Faris pun sudah memikirkannya.
Terkadang aku memancingnya atas keseriusan perasaannya padaku. Padahal
aku tahu dia belum bisa berpikir ‘kesana’ dalam usianya yang baru masuk
kepala dua. Dan tak ku sangka rupanya dia sudah berniat untuk
memperjuangkan kami untuk masa depan. Dia bersedia menerima persyaratan
apa pun dari orang tuaku. Sungguh terharu aku dibuatnya. Setelah ku
dengar pernyataannya tentang keseriusannya itu aku memutuskan untuk
bertahan sampai dia mewujudkan semuanya.
Kami belum melibatkan orang tua saat itu. Karena kami pun masih dalam
proses menetapkan hati. Seiring berjalan waktu banyak hal yang kami
hadapi. Perdebatan kecil dan besar pun sudah pernah kami alami. Lebih
karena sebuah salah paham. Dia yang belum terlalu dewasa harus bisa ku
hadapi dengan kepala dingin. Seringkali maksud yang ingin ku tunjukkan
ditangkap berbeda olehnya. Hingga akhirnya menjadi kesalahpahaman yang
berbuntut.
“Udahlah…itu emang udah sifat kamu…kamu mau cewek yang kayak dia kan?
Kalian itu sama-sama nggak mikir!! Tega kamu giniin aku. Salah apa aku
sama kalian??!! Sampe aku harus jadi bahan permainan kalian?! Tapi,
tenang aja aku nggak akan membalas semua ini. Biar karma yang menghukum
kalian!!”
Itu adalah emosi terbesarku malam itu atas ulah Faris. Aku benar-benar
tak ingin melihatnya juga mendengar suaranya. Tapi, aku tetap
melapangkan dada untuk bisa mendengar penjelasannya melalui ponsel.
Samar-samar aku mendengar dia terisak atas semua emosi yang ku luapkan.
Heran rasanya dia menunjukkan penyesalan seperti itu setelah apa yang
dia lakukan seakan tak menggunakan pikiran. Sakit tersakitku untuk
kejadian itu.
Aku merasa curiga dengan tingkah Faris. Aku memintanya untuk bertukar
ponsel sementara. Sama sekali dia tak keberatan. Menunjukkan bahwa tak
ada apa-apa di ponselnya. Tapi, tetap saja aku merasa ada yang tak
beres.
Malam itu aku mulai membuka semua yang ada di ponselnya. Lebih pada
pesan dan panggilan. Bukan hal yang patut dipermasalahkan sebenarnya.
Hanya saja kebohongan sekecil apapun tetap menyakitkan. Ada nomor tak
bernama di daftar panggilan. Fellingku mengatakan bahwa nomor itu adalah
nomor seorang cewek yang dulu pernah dia sukai yang sebenarnya masih
family dengannya. Aku mengirim pesan pada nomor itu dengan berpura-pura
sebagai Faris. Beberapa SMSku membuat pemilik nomor itu curiga bahwa
bukan Faris yang mengiriminya pesan. Akhirnya aku mengaku dengan emosi
yang mulai muncul. Benar dugaanku. Entah apa maksud mereka dengan
menutup-nutupi keakraban mereka. Faris selalu bilang bahwa mereka tak
pernah komunikasi melalui ponsel. Tapi, nyatanya???!!
“Aku minta kamu lupain aku. Jangan lagi hadir di kehidupanku…!!!”,
masih dengan emosiku saat itu. “Maafin aku, Na…aku bener-bener nyesel.
Tolong jangan suruh aku jauhin kamu. Aku nggak bisa, Na…”, suaranya
masih terdengar terisak. Tak ku hiraukan kata-katanya. Sudah
berulangkali kesempatan ku berikan. Dan berulangkali pula ia salah
gunakan. Tak banyak yang ku tuntut darinya. Hanya kejujuran. Itu saja.
Itu pun demi mencegah adanya salah paham yang berpotensi besar
menghancurkan sebuah hubungan. Dan juga salah satu usaha ku untuk
menjaga hubungan kami.
Namun, tetap saja semua itu terjadi. Perdebatan hebat yang membuatku
benar-benar ingin pergi dan melupakan semua tentangnya. Sakit tersakitku
untuk kejadian itu.
By: Eka Oktaviyanti H.